Copa America masih mencari model bisnis yang tepat. |
Dalam hal marketing dan promo misalnya, maaf, jauhlah dibanding perhelatan EURO di Eropa. Padahal dari sisi kualitas turnamen, bisa jadi Copa America ada di urutan satu. Lucunya lagi, di antara tujuh kejuaraan tradisional utama tadi, Piala Amerika adalah kejuaraan sepak bola internasional yang tertua sebab digelindingkan pertama kali pada 1916. Tahun ini Copa America memasuki edisi yang ke-44.
Kenapa Copa America sulit berkembang bisnisnya? Bukankah FIFA sudah habis-habisan membantunya? Benar, dalam dua pagelaran terakhir, 2007 dan 2011, keputusan FIFA memperbanyak laga persahabatan antarnegara, membuat Copa America lebih bermutu karena setiap peserta punya persiapan matang. Itu teorinya. Prakteknya tak semudah itu. Jadi apa ujung pangkalnya? Sepele, ini cuma soal genap atau ganjil! Ia ada di tahun ganjil.
Barangkali karena merasa terdepan peradabannya dengan fakta menguasai bisnis dunia, orang-orang Eropa dikenal lihai dalam lobi dan negosiasi. Pada akhirnya, hasilnya seperti ini. Piala Dunia dan Piala Eropa ada di tahun genap. Piala Amerika dan Piala Emas pada tahun ganjil.
Sementara itu di Piala Afrika dan Piala Asia, meski masuk tahun genap, tapi sebenarnya ada di tahun ganjil. Tepatnya pada awal tahun genap, antara Januari-Februari. Begitulah seterusnya pokok masalah bagi bangsa-bangsa Latin, Afrika, dan Asia yang tidak pernah bisa mengalahkan pamor sepak bola bangsa Eropa.
Berangkat dari sini esensi dan tendensi Copa America membias secara evolutif. Alih-alih mau mengembalikan supremasi Futbol Latino di pentas dunia juga meraih keuntungan besar sisi bisnisnya, Conmebol - federasi sepak bola Amerika Selatan - justru melupakan tradisi asal, kadang melepaskan identitas asli.
Sungguh ironis bila hampir semua peserta, plus Brasil dan Argentina, menjadikan Copa America medan preparasi sempurna untuk tujuan utama: kualifikasi World Cup! Dengan jatah 4+1, kini 9 negara Conmebol minus Brasil, tahun ini akan memainkan lakon yang paling menjanjikan sepanjang sejarah.
Jika bukan dari Copa America 2011, kapan tim nasional Brasil bisa bertemu lawan tangguh secara intensif dan kompetitif? Dengan menjadi tuan rumah Piala Dunia 2014, Selecao tidak ikut kualifikasinya. Ini yang bikin Copa America di bulan Juli ini dianggap sangat serius oleh pelatih nasional Mano Menezes.
Beban lebih berat ikut dirasakan Argentina. Selain temanya sama dengan Brasil, namun puasa gelar internasional sejak 1993, bikin pelatih Sergio Batista kadang suka merenung. Secara spesifik, Brasil dan Argentina punya problem internal yang paling pelik, ironisnya, justru karena kebanjiran pemain bagus.
Tanpa metode dan sistem permainan yang baku, rasanya keberhasilan tetap sulit dicapai. Brasil yang ingin mematangkan pola 4-2-3-1 atau Argentina yang 4-3-3 harus menentukan siapa starter di tiap posisi. Saat ditahan 0-0 oleh Kosta Rika bulan lalu, La Albiceleste tampil tanpa Lionel Messi. Batista mencoba Jose Sosa dan Nicolas Gaitan sebagai penyerang sayap. Hasilnya pun berantakan. Brasil pun sekarang sudah dirundung polemik. Mulai dari rakyat, data statistik, dan fakta lainnya; diyakini tim Samba harus menyediakan tempat buat pemain old crack seperti Lucio di belakang dan Elano di tengah.
Persoalan kedua Copa America adalah pandangan sinis publik dan pers Eropa yang menganggap kejuaraan yang dilahirkan untuk memperingati Revolusi Mei di Argentina ini sebagai lelucon. Copa America bukanlah turnamen yang murni mewakili aspirasi sepak bola negara-negara Amerika Selatan. Ketika urusan belum kelar, pada 1993 Conmebol malah mengundang dua anggota zona Concacaf - Meksiko dan AS - sebagai pelanggan baru tanpa menyadari dampaknya.
Ini lucu mengingat tiga negeri Amerika Latin - Guyana, Suriname dan Guiana Prancis - yang jelas-jelas tetangganya Venezuela dan Brasil, malah 'dibuang' ke zona Concacaf! Ketianya dilempar paksa ke bumi Amerika Tengah. Peta bumi coba diubah-ubah, namun realitanya tidak bisa kecuali memaksakan fantasi. Begitulah, barangkali, sifat mendasar manusia yang sering meminta 'pemakluman'. Namun bagi yang sedikit menghormati etika dan moralitas, ini merupakan sebuah paradoks.
Sinisme Eropa
Jepang terpaksa diundang demi menaikkan nilai jual turnamen. |
Banyak pihak yang nyengir kuda melihat terobosan Conmebol yang mengabaikan tradisi dan identitas kejuaraan. Meksiko paling pintar memanfaatkan momentum saat diundang. Negeri Sombrero ini segera mengirimkan barisan talentanya, menyisipkan para pemain muda (U-23) untuk pematangan sesungguhnya menghadapi masa depan. Namun lucunya, Kanada di 2001 dan Jepang di 2011 ditolak ketika akan mengirim pemain mudanya.
Lantaran tradisinya yang sudah cacat, dan gengsinya tengah dipertaruhkan, ada rumor yang mengatakan sebenarnya Polandia - salah satu tuan rumah EURO 2012 - ingin sekali diundang tahun ini! Bos PZPN (PSSI-nya Polandia), Grzegorz Lato, sangat berkepentingan dengan Copa America di Argentina. Lato adalah legenda hidup Polska yang tiba-tiba merasa akrab dengan Argentina sewaktu bermain gemilang di Piala Dunia 1978.
Selain itu dikabarkan pelatih nasional Franciszek Smuda dirundung rasa pesimis karena ujicoba timnya untuk persiapan di putaran final nanti amat minim. Boleh jadi Polandia masih punya gengsi ketimbang Conmebol. Mereka jelas risih meminta-minta diundang. Namun ini bukan tanpa alasan.
Jepang, yang ada di zona Asia (AFC), selalu diharapkan hadir karena Conmebol melihat sisi sponsor dan nilai marketing yang dibawa Japon. Alasan lain pantasnya Polandia hadir karena sebelum mengundang Jepang, Conmebol resmi mengundang juara dunia Spanyol! Namun RFEF (PSSI-nya Spanyol) tidak berani mengusik masa liburan para pemain nasionalnya.
Patut dipertanyakan, kenapa orang-orang Latin tak belajar dari pengalaman masa lalu? Mengapa spekulasi ini dibiarkan FIFA? Hal lain juga sering menimbulkan sinisme pada Copa America adalah soal ketidak-siapan infrastruktur, bencana alam, kejadian heboh yang dilakukan pemain, sampai wasit yang kerap kontroversial. Anda seharusnya masih ingat yang ditorehkan Martin 'El Loco' Palermo pada Piala Amerika 1999 di Paraguay.
Kisah unik Martin Palermo pada 1999 menjatuhkan nilai Copa America. |
Usai lepas kostum, Ronaldo ngacir keluar stadion untuk berkencan dengan wanita serta berbelanja di Ciudad del Este. Itu dilakukan saat timnya masih main! Media massa di Eropa bikin kisah Cash for Chaos untuk menyorot kelakuan profesional negatif bintang-bintang Latin yang bermain di klub Eropa saat berada di rumahnya sendiri. Dikatakan, mereka berbuat begitu karena di Eropa tidak punya kesempatan sama sekali dan dibayangi disiplin yang ketat.
Ulah heboh juga pernah ditunjukkan kiper Paraguay, Jose Luis Chilavert, yang mogok main justru karena negaranya menggelar Copa America! Jauh-jauh hari si eksentrik protes bahwa masih banyak persoalan ekonomi yang dihadapi Paraguay ketimbang buang-buang uang dengan menjadi tuan rumah Copa America 1999. Belum lagi drama soal kepemimpinan kontroversial wasit yang memalukan seperti di Copa America 2007.
Namun dari semua kelemahan dan keanehan tapi nyata Copa America yang disorot media massa Eropa, tak lain soal pengaturan laga dan jumlah peserta. Sejujurnya, 12 negara partisipan tidak ideal buat sebuah kejuaraan yang memakai sistem round-robin. Mereka selalu butuh dua tim terbaik yang diambil dari tiga runner-up. Mulai tahun ini laga tidak dilanjutkan dengan adu penalti langsung jika di 90 menit pertama berakhir imbang.
Copa America suka terjebak dalam geliat bisnisnya sendiri. Demi obsesi menyamai pamor Piala Eropa, Copa America justru semakin mengorbankan gengsi dan tradisinya. Padahal dengan mengajak Amerika Serikat saja sudah cukup. Banyak sponsor dan stasiun TV yang senang dengan Copa America mengingat jumlah komunitas Latino di AS.
Namun agaknya Conmebol ingin mencari untung yang lebih besar. Padahal sudah mentok sama sekali, sudah terukur. Satu contoh kecil saja, jika FC Barcelona tidak menginzinkan Messi tampil dengan aneka alasan, maka AFA (Federasi Sepak Bola Argentina) tidak bisa apa-apa sebab pada faktanya Barcelona yang mengelola dan menjamin hidup Messi, bukan tim nasional Argentina, AFA, atau negaranya.
Bussines-Driven
KIA butuh market baru di Amerika Selatan. |
Itu kenapa Univision, jaringan TV dari AS yang memegang hak siar Copa America 2011, berharap banyak. Revenue utama TV yang berkantor pusat di New York ini adalah telenovela dan sepak bola (La Liga) yang berbahasa Spanyol, namun khusus Copa America mereka memakai English language.
Biaya produksi dari studio di Doral, Florida dan unit di lapangan telah ditutup oleh sponsor non-Eropa seperti: LG, MasterCard, Santander, KIA, Telcel, Claro, Canon, Budweiser, Coca-Cola, Petrobras, Seara, sampai UNICEF. Semuanya berharap banyak pada kesuksesan turnamen kuadranial ini. Kue keuntungan pun sudah dikapling-kapling.
Uniknya, Argentina tidak bisa berbuat banyak sebab event organizer Copa America 2011 adalah Traffic Sports, sebuah perusahaan Brasil yang bermarkas di Miami, Florida. Traffic Sports dan Univision inilah yang mengatur liveshow ke 196 negara sejagat termasuk Indonesia.
"Walau digelar di Argentina, tapi karena Univision adalah market leader di AS yang menguasai ajang top olah raga, maka kami bisa mendapat fragmentasinya sebagai magnet kuat menjadi tontonan utama," aku Aaron Davidson, wapres penjualan dan pemasaran Traffic Sports.
Tiga sponsor utama Copa America 2011. |
Berbekal data ajang sebelumnya pada 2007, maka tingkat audiens Copa America yang dibidik Univision cukup dengan angka 2,6 juta penonton tiap pertandingan. Artinya ada angka total 67,6 juta penonton. Sebuah angka yang 'sangat kecil' dibandingkan Piala Eropa.
Tipe sponsor di Copa America juga minim jenisnya. Bank, kartu kredit, minuman, bir, mobil, elektronik, tambang, dan telekomunikasi. Namun ketika dikombinasi dengan demografi penonton kejuaraan sebelumnya milik Scarborough Research, ternyata potensinya cukup menjanjikan sebab 70 persen penonton Copa America adalah kaum Adam.
Komposisi usia penonton Copa America di AS juga menarik datanya. Di usia 18-22 sekitar 6%. 25-34 (22%), 35-44 (24%), 45-54 (18%), 55-64 (11%), dan di atas 65 tahun (9%). Sedangkan dari segi penghasilan audiens, angkanya makin prospektif, 30% ada di pendapatan di atas $100.000 setahun. Berikutnya 75.000-100.000 (17%), persis sama rentang 35.000-50.000. Pendapatan antara 50.000-75.000 (15%), 25.000-35.000 (11%), serta di bawah 25.000 cuma 10%.
Jika data ini dipaparkan ke audiens di Eropa, bisa jadi dikategorikan suram. Namun itulah, standar pasar bola di Latin yang punya ekosistem tersendiri. Urusan keruk-mengeruk duit, sepak bola selalu ada celah dan celah. Untuk yang bernilai mega, Traffic Sports telah mematok bayar di muka, enam bulan sebelum Copa America bergulir. Kategori ini juga diharuskan menggelar kegiatan ekstra seperti nonton bareng atau festival.
Sementara itu untuk sponsor bernilai ritel masih ditunggu hingga jelang kick-off. Bussines-driven yang digenjot kuat-kuat Traffic Sports bukan tanpa hujatan di kampung sendiri. Manuel Figueroa, wartawan harian El Espectador di Bogota, pernah menulis bahwa untuk berilusi saja, Conmebol telah gagal mengangkat sepak bola Latino! Kolusi dan konspirasi para birokratnya sulit diusik.
Wilayah ini hanya diselamatkan oleh bakat dan mutu permainannya. Amerika Selatan adalah lahan Conmebol, di mana sebagian pejabatnya juga adalah tokoh teras FIFA. Jika di atas permainan, Argentina dan Brasil adalah dua besar di tanah Latin, maka begitu juga klik di Conmebol dan bisnisnya.
Terlepas itu semua, ini yang menjadikan Copa America tetap spesial, seperti gaya permainannya mereka. Bagi sebagian wartawan, dibanding turnamen ala Eropa seperti Liga Champion atau Piala Eropa yang miskin drama, Copa America biasanya penuh dengan cerita unik di luar lapangan. Cocoklah dengan kesukaan mereka pada telenovela.
(foto: exspanish/dailymail/racing5/football-marketing/kolkatafootball)